Penulis: Eppy Purnama Bakty
Kesulitan belajar merupakan suatu konsep multidisipliner yang digunakan di lapangan ilmu pendidikan, psikologi, maupun ilmu kedokteran. Pada tahun 1963 Samuel A. Kirk pertama kali menyarankan penyatuan nama-nama gangguan anak seperti disfungsi minimal otak (minimal brain dysfunction), gangguan neurologis (neurological disorders), disleksia (dyslexia), dan afasia perkembangan (developmental aphasia) menjadi kesulitan belajar (Mulyono Abdurrahman,1995:9).
Konsep ini diadopsi secara luas oleh berbagai disiplin ilmu dalam upaya memahami dan mendalami kesulitan belajar bagi perkembangan ilmu mereka.
Definisi kesulitan belajar pertama kali dikemukakan oleh The United States Office of Education (USOE) pada tahun 1977, yang hampir identik dengan definisi yang dikeluarkan oleh The National Advisory Committee on Handicapped Children tahun 1967 (Mulyono Abdurrahman,1995: 9-10). Definisi tersebut berbunyi:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran atau motorik, hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Sedangkan The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) (Mulyono Abdurrahman, 1995; 10-12) mengemukan definisi mengenai kesulitan belajar sebagai berikut:
Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut instrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenetik, berbagai hambatan tersebut, bukan penyebab atau pengaruh langsung.
Definisi ini memiliki kelebihan dibandingkan definisi sebelumnya karena: (1) tidak dikaitkan secara eksklusif dengan anak-anak, (2) menghindari ungkapan “proses psikologis dasar”, (3) tidak memasukkan mengeja sebagai gangguan yang terpisah dari kesulitan yang mengekspresikan bahasa tertulis, (4) menghindarkan penyebutan berbagai kondisi gangguan lain (gangguan perseptual, disleksia, disfungsi minimal otak) yang akan dapat membingungkan, dan (5) secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar mungkin terjadi bersama dengan kondisi-kondisi lain.
The Board of the Association for Children and Adulth with Learning Disabilities (ACALD) mengemukakan definisi tentang kesulitan belajar, yaitu:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau non-verbal.
Kesulitan belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki inteligensi rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem sensoris yang cukup, dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan dan derajatnya.
Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi, dan/atau aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan.
Meskipun terdapat perbedaan antara tiga definisi yang telah dikemukakan, akan tetapi ketiganya memiliki beberapa titik-titik kesamaan, yaitu: (1) kemungkinan adanya disfungsi neurologis, (2) adanya kesulitan dalam tugas-tugas akademik, (3) adanya kesenjangan antara prestasi dengan potensi, dan (4) adanya pengeluaran dari sebab-sebab lain.
Di Indonesia belum ada definisi yang baku tentang kesulitan belajar. Para guru umumnya memandang semua siswa yang memperoleh prestasi belajar rendah disebut siswa berkesulitan belajar. Dalam kondisi seperti itu, kiranya dapat dipertimbangkan untuk mengadopsi definisi yang dikemukakan oleh ACALD untuk digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Konsep ini diadopsi secara luas oleh berbagai disiplin ilmu dalam upaya memahami dan mendalami kesulitan belajar bagi perkembangan ilmu mereka.
Definisi kesulitan belajar pertama kali dikemukakan oleh The United States Office of Education (USOE) pada tahun 1977, yang hampir identik dengan definisi yang dikeluarkan oleh The National Advisory Committee on Handicapped Children tahun 1967 (Mulyono Abdurrahman,1995: 9-10). Definisi tersebut berbunyi:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran atau motorik, hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Sedangkan The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) (Mulyono Abdurrahman, 1995; 10-12) mengemukan definisi mengenai kesulitan belajar sebagai berikut:
Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut instrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenetik, berbagai hambatan tersebut, bukan penyebab atau pengaruh langsung.
Definisi ini memiliki kelebihan dibandingkan definisi sebelumnya karena: (1) tidak dikaitkan secara eksklusif dengan anak-anak, (2) menghindari ungkapan “proses psikologis dasar”, (3) tidak memasukkan mengeja sebagai gangguan yang terpisah dari kesulitan yang mengekspresikan bahasa tertulis, (4) menghindarkan penyebutan berbagai kondisi gangguan lain (gangguan perseptual, disleksia, disfungsi minimal otak) yang akan dapat membingungkan, dan (5) secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar mungkin terjadi bersama dengan kondisi-kondisi lain.
The Board of the Association for Children and Adulth with Learning Disabilities (ACALD) mengemukakan definisi tentang kesulitan belajar, yaitu:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau non-verbal.
Kesulitan belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki inteligensi rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem sensoris yang cukup, dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan dan derajatnya.
Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi, dan/atau aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan.
Meskipun terdapat perbedaan antara tiga definisi yang telah dikemukakan, akan tetapi ketiganya memiliki beberapa titik-titik kesamaan, yaitu: (1) kemungkinan adanya disfungsi neurologis, (2) adanya kesulitan dalam tugas-tugas akademik, (3) adanya kesenjangan antara prestasi dengan potensi, dan (4) adanya pengeluaran dari sebab-sebab lain.
Di Indonesia belum ada definisi yang baku tentang kesulitan belajar. Para guru umumnya memandang semua siswa yang memperoleh prestasi belajar rendah disebut siswa berkesulitan belajar. Dalam kondisi seperti itu, kiranya dapat dipertimbangkan untuk mengadopsi definisi yang dikemukakan oleh ACALD untuk digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Penulis: Eppy Purnama Bakty