Penulis: Eppy Purnama Bakty
Salah satu kebijakan mendasar dalam pengelolaan pembelajaran dewasa ini adalah diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Lahirnya kebijakan penerapan KTSP tersebut adalah hasil penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya yang beberapa tahun ke belakang menjadi fokus perhatian di Pusat Kurikulum Nasional Departemen Pendidikan Nasional.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Badan Standar Nasional Pendidikan (2006:179) mengemukakan ada tujuh prinsip dalam pengembangan KTSP, yaitu: “(1) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya (2) beragam dan terpadu, (3) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan, (5) menyeluruh dan berkesinambungan, (6) belajar sepanjang hayat, (7) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah”.
Dari batasan konseptual di atas, dapat dipahami bahwa pembelajaran yang dikehendaki dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) harus bermuara pada dimilikinya sejumlah kompetensi pada diri siswa melalui serangkaian pengalaman pembelajaran dan memandang siswa sebagai sosok individu yang memiliki keragaman dalam hal belajar. Wujud dari konsep tersebut, maka prinsip pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan berpijak pada dua pendekatan, yaitu: (1) prinsip belajar tuntas; dan (2) program perbaikan hasil belajar.
Implementasi belajar tuntas maupun program perbaikan belajar dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar. Mengajar atau “teaching” adalah membantu peserta didik memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekpresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar (Joyce dan Well, 1996). Sedangkan pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan peserta didik. Secara implisit dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada. Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasarnya merupakan inti dari perencanaan pembelajaran. Dalam hal ini istilah pembelajaran memiliki hakekat perencanaan atau perancangan (desain) sebagai upaya untuk membelajarkan peserta didik. Itulah sebabnya dalam belajar peserta didik tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi berinteraksi juga dengan keseluruhan sumber belajar yang lain. Oleh karena itu pembelajaran menaruh perhatian pada “bagaimana membelajarkan peserta didik”, dan bukan pada “apa yang dipelajari peserta didik”. Dengan demikian pembelajaran menempatkan peserta didik sebagai subyek bukan sebagai obyek. Oleh karena itu agar pembelajaran dapat mencapai hasil yang optimal guru perlu memahami karakteristik peserta didik.
Adanya tuntutan agar para guru memahami karakteristik peserta didik memiliki dasar empirik yang jelas yaitu berdasarkan pada kenyataan bahwa di lapangan tidak semua siswa dapat mengikuti proses pendidikan sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran dewasa ini, sehingga ada sebagian keputusan pendidikan yang dilakukan oleh para guru yang justru dapat merugikan diri siswa.
Salah satu faktor yang dapat menghambat optimalisasi potensi siswa dalam mengikuti pembelajaran di sekolah adalah hambatan berupa kesulitan belajar (learning disabilities). Kesulitan belajar merupakan suatu keadaan dimana seorang siswa mengalami kegagalan-kegagalan dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah dikarenakan adanya hambatan yang bersifat non fisik. Anak berkesulitan belajar belum tentu memiliki intelegensi yang rendah, bisa saja secara intelegensi mereka memadai bahkan di atas rata-rata, namun dikarenakan adanya hambatan yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik menyebabkan mereka tidak dapat menampilkan kemampuan yang optimal dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah.
Untuk dapat mencapai prestasi akademik yang optimal, seorang anak memerlukan penguasaan keterampilan prasyarat. Anak yang memperoleh prestasi belajar yang rendah karena kurang menguasai keterampilan prasyarat, pada umumnya dapat mencapai prestasi akademik yang diharapkan setelah terlebih dahulu anak tersebut menguasai keterampilan prasyarat. Sebagai contoh agar anak dapat menyelesaikan soal matematika bentuk cerita, seorang anak harus menguasai terlebih dahulu keterampilan membaca pemahaman. Untuk dapat membaca, seorang anak harus sudah berkembang kemampuan dalam melakukan diskriminasi visual maupun auditif, ingatan visual maupun auditoris, dan kemampuan untuk memusatkan perhatian. Tanpa memiliki keterampilan tersebut jangan diharapkan anak tersebut dapat mengerjakan soal-soal matematika dalam bentuk cerita.
Diprediksi jumlah anak berkesulitan belajar terkait erat dengan definisi dan alat identifikasi yang digunakan. Dengan demikian, di antara beberapa peneliti terdapat perbedaan dalam memprediksi jumlah populasi anak berkesulitan belajar. Sebagian ahli berpendapat bahwa prevalensi anak usia sekolah yang berkesulitan belajar membentuk rentang dari 1% hingga 30% (Lerner, 1981:15; Hallahan, Kauffman, & Lloyd, 1985: 15). Hasil penelitian lainnya dikemukakan oleh Lovitt (1989: 17) yang memprediksi bahwa prevalensi anak usia sekolah yang mengalami kesulitan belajar merentang dari 2% sampai dengan 30%. Hasil penelitian Stanford Research Institute pada tahun 1989 dalam laporannya kepada Kongres Amerika Serikat menyatakan bahwa antara 5% sampai dengan 10% dari populasi anak usia sekolah di Amerika Serikat mengalami kesulitan belajar.
DI Indonesia terdapat beberapa penelitian terhadap keberadaan anak berkesulitan belajar antara lain penelitian yang dilakukan terhadap 3.215 murid kelas satu hingga kelas enam SD di DKI Jakarta. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat 16,52% yang oleh gurunya diperkirakan sebagai murid yang termasuk berkesulitan belajar (Mulyono Abdurrahman & Nafsiah Ibrahim, 1994). Sejak tahun 1986, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia bekerjasama dengan USAID melaporkan bahwa di Indonesia diperkirakan terdapat 300.000 anak-anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus (Anak Berkebutuhan Khusus). Jika angka statistik 30% di Amerika Serikat digunakan, maka di Indonesia pada tahun 1986 diperkirakan terdapat 90.000 anak-anak berkesulitan belajar. Berdasarkan data yang ada di Dinas Pendidikan Kota Bandung bahwa jumlah siswa SD/MI pada tahun 2000/2001 sebanyak 228.366 orang. Jika diestimasikan bahwa sekitar 5% - 10% (berdasarkan penelitian Stanford Institute), maka diperkirakan anak yang mengalami kesulitan belajar berkisar antara 11.418 sampai 22.837 orang. Jumlah anak berkesulitan belajar akan semakin meningkat terutama setelah kriteria adaptabilitas sosial digunakan dalam menentukan anak tunagrahita selain taraf intelegensi, sehingga anak-anak yang semula dianggap sebagai tunagrahita ternyata termasuk anak berkesulitan belajar.
Wujud perilaku anak berkesulitan belajar terletak pada kesulitan untuk memusatkan perhatian atau sering disebut perhatian selektif. Ross (1976: 60), menyatakan bahwa:
Perhatian selektif membantu manusia membatasi jumlah rangsangan yang perlu diproses pada suatu waktu tertentu. Jika seorang anak memperhatikan dan bereaksi terhadap banyak rangsangan, maka anak semacam itu dipandang sebagai anak yang terganggu perhatiannya (distractible).
Kesulitan belajar secara garis besar dibagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu kesulitan belajar yang berhubungan dengan akademik (academic learning disabilities) dan kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities). Kesulitan belajar menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kesulitan belajar disebabkan oleh adanya gangguan perkembangan dari penggunaan dan mempertahankan perhatian selektif, akibatnya siswa mengalami hambatan dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas. Kesulitan yang berhubungan dengan perkembangan mencakup gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi serta kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial.
Pembelajaran bagi anak berkesulitan belajar memerlukan perlakuan khusus dan perlu ada pendekatan maupun metode pembelajaran lainnya yang diberikan oleh guru dalam upaya membantu kesulitan-kesulitan belajar siswa. Penelitian yang dilakukan di DKI Jakarta menunjukkan bahwa iklim belajar kompetitif antar anak-anak berkemampuan heterogen lebih dominan daripada iklim belajar kooperatif (Sri Purnami, dkk, 1992). Iklim belajar semacam itu tidak menunjang keberhasilan upaya membantu anak berkesulitan belajar.
Berbagai pendekatan dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar dapat dilakukan misalnya seperti program pendidikan individual (Individualized Education Program). Bentuk pelayanan ini sayangnya di Indonesia belum banyak dikenal, walaupun sudah sejak tahun 1992 bentuk pelayanan IEP ini diperkenalkan, pelaksanaannya di lapangan belum sebagaimana diharapkan. Berbagai kendala yang diperkirakan menjadi penghambat pelaksanaan IEP di Indonesia antara lain adalah karena bentuk pelayanan ini belum banyak dikenal oleh para guru dan belum ada peraturan yang mengharuskan anak berkesulitan belajar memperoleh pelayanan semacam itu. Layanan pendidikan lainnya adalah bimbingan belajar kelompok dimana siswa yang taraf kesulitannya sama ditempatkan dalam satu kelas dan diberikan materi pelajaran dari suatu bidang studi yang dianggap belum dapat dikuasai oleh mereka. Pelayanan pendidikan lainnya yang dapat diberikan kepada siswa yang penguasaan suatu materi pelajaran tertentu belum maksimal maka diberikan kesempatan untuk dapat mengulang kembali pelajaran tersebut pada kesempatan lainnya.
Hasil belajar yang dipengaruhi oleh besarnya usaha yang dicurahkan, intelegensi, dan kesempatan yang diberikan kepada anak, pada gilirannya berpengaruh terhadap konsekuensi dari hasil belajar tersebut. Konsekuensi itu dapat bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Konsekuensi intrinsik dapat berupa perasaan puas atau tidak puas, sedangkan konsekuensi ekstrinsik dapat berupa hadiah atau hukuman dari guru maupun dari orang tua.
Dalam upaya memberikan pelayanan pendidikan bagi anak yang mengalami kesulitan belajar diperlukan adanya kerjasama yang terintegrasi di antara berbagai pihak sehingga upaya pemberian layanan pendidikan dapat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dari anak itu sendiri. Orang tua sebagai bagian tidak terpisahkan dari kegiatan ini juga dituntut peranan aktifnya sehingga anak mendapatkan segala kebutuhan yang sesuai dengan keinginannya, sehingga tidak hanya institusi sekolah yang bertanggung jawab terhadap penanganan anak berkesulitan belajar.